Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian
untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum
kalian agar kalian bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 183)
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Ramadhan
merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia) di
dalam agama Islam. Hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma’/kesepakatan
kaum muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan demikian.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380)
Ketika menjelaskan ayat di atas beliau mengatakan, “Allah mengarahkan
pembicaraannya (di dalam ayat ini, pen) kepada orang-orang yang
beriman. Sebab puasa Ramadhan merupakan bagian dari konsekuensi
keimanan. Dan dengan menjalankan puasa Ramadhan akan bertambah sempurna
keimanan seseorang. Dan juga karena dengan meninggalkan puasa Ramadhan
akan mengurangi keimanan. Para ulama berbeda pendapat mengenai orang
yang meninggalkan puasa karena meremehkannya atau malas, apakah dia
kafir atau tidak? Namun pendapat yang benar menyatakan bahwa orang ini
tidak kafir. Sebab tidaklah seseorang dikafirkan karena meninggalkan
salah satu rukun Islam selain dua kalimat syahadat dan shalat.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380-381)
Menunaikan kewajiban merupakan ibadah yang sangat utama, karena
kewajiban merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda membawakan firman Allah ta’ala (dalam hadits qudsi),
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu
amalan yang lebih Aku cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang
Aku bebankan kepadanya…” (HR. Bukhari [6502] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
An-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang
menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban lebih utama daripada mengerjakan
amalan yang sunnah.” (Syarh Arba’in li An-Nawawi yang dicetak dalam Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 265)
Syaikh As-Sa’di juga mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat pokok
yang sangat agung yaitu kewajiban harus didahulukan sebelum
perkara-perkara yang sunnah. Dan ia juga menunjukkan bahwa amal yang
wajib itu lebih dicintai Allah dan lebih banyak pahalanya.” (Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 116)
Al-Hafizh mengatakan, “Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwasanya
menunaikan kewajiban-kewajiban merupakan amal yang paling dicintai oleh
Allah.” (Fath Al-Bari, 11/388)
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah
mengatakan, “Amal-amal wajib lebih utama daripada amal-amal sunnah.
Menunaikan amal yang wajib lebih dicintai Allah daripada menunaikan amal
yang sunnah. Ini merupakan pokok agung dalam ajaran agama yang
ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at dan ditetapkan pula oleh para
ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan hadits di atas. Setelah itu
beliau mengatakan, “Maka hadits ini memberikan penunjukan yang sangat
gamblang bahwa amal-amal wajib lebih mulia dan lebih dicintai Allah
daripada amal-amal sunnah.” Kemudian beliau menukil ucapan Al-Hafizh
Ibnu Hajar di atas (lihat Tajrid Al-Ittiba’ fi Bayan Tafadhul Al-A’maal, hal. 34)
Semogadapat membantu memotivasi kita semua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar