“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut
orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada harumnya minyak
kasturi…”
Menghapuskan Dosa-Dosa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari [38, 1901, 2014] dan Muslim [760] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dengan iman di sini adalah meyakini wajibnya puasa yang
dia lakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan mengharapkan pahala/ihtisab
adalah keinginan mendapatkan balasan pahala dari Allah ta’ala (Fath Al-Bari, 4/136)
An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang populer di kalangan para
ulama ahli fikih menyatakan bahwa dosa-dosa yang terampuni dengan
melakukan puasa Ramadhan itu adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa
besar (lihat Al-Minhaj, 4/76). Hal itu sebagaimana tercantum dalam
hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ
وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ
الْكَبَائِرَ
“Shalat lima waktu. Ibadah Jum’at yang satu dengan ibadah jum’at
berikutnya. Puasa Ramadhan yang satu dengan puasa Ramadhan berikutnya.
Itu semua merupakan penghapus dosa antara keduanya, selama dosa-dosa
besar dijauhi.” (HR. Muslim [233])
Di dalam kitab Shahihnya, Bukhari membuat sebuah bab yang berjudul
‘Shalat lima waktu sebagai penghapus dosa’ kemudian beliau menyebutkan
hadits yang senada, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Nabi bersabda,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ
يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ
دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ
الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا
“Bagaimana menurut kalian kalau seandainya ada sebuah sungai di
depan pintu rumah kalian dan dia mandi di sana sehari lima kali. Apakah
masih ada sisa kotoran yang ditinggalkan olehnya?” Para sahabat
menjawab, “Tentu saja tidak ada lagi kotoran yang masih ditingalkan
olehnya.” Maka beliau bersabda, “Demikian itulah perumpamaan shalat lima
waktu dapat menghapuskan dosa-dosa.” (HR. Bukhari [528] dan Muslim [667])
Ibnu Hajar mengatakan, “Zahir hadits ini menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan dosa-dosa di sini lebih luas daripada dosa kecil maupun
dosa besar. Akan tetapi Ibnu Baththal mengatakan, ‘Dari hadits ini
diambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan adalah khusus dosa-dosa kecil
saja, sebab Nabi menyerupakan dosa itu dengan kotoran yang menempel di
tubuh. Sedangkan kotoran yang menempel di tubuh jelas lebih kecil
ukurannya dibandingkan dengan bekas luka ataupun kotoran-kotoran
manusia.’”
Meskipun demikian, Ibnu Hajar membantah ucapan Ibnu Baththal ini
dengan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits bukanlah kotoran
ringan yang sekedar menempel di badan, namun yang dimaksudkan adalah
kotoran berat yang benar-benar sudah melekat di badan. Penafsiran ini
didukung oleh bunyi riwayat lainnya yang dibawakan oleh Al-Bazzar dan
Ath-Thabrani dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri dengan sanad la ba’sa bihi yang secara tegas menyebutkan hal itu.
Oleh sebab itulah Al-Qurthubi mengatakan, “Zahir hadits ini
menunjukkan bahwa melakukan shalat lima waktu itulah yang menjadi sebab
terhapusnya dosa-dosa, akan tetapi makna ini janggal. Namun terdapat
hadits lain yang diriwayatkan sebelumnya oleh Muslim dari penuturan
Al-Alla’ dari Abu Hurairah secara marfu’ Nabi bersabda, ‘Shalat yang
lima waktu adalah penghapus dosa di antara shalat-shalat tersebut selama
dosa-dosa besar dijauhi.’ Berdasarkan dalil yang muqayyad (khusus) ini
maka hadits lain yang muthlaq (umum) harus diartikan kepada makna ini.”
(lihat Fath Al-Bari, 2/15)
Hadits-hadits yang menyebutkan tentang penghapusan dosa karena amal
kebaikan di atas sesuai dengan kandungan firman Allah ta’ala,
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya amal-amal kebaikan itu akan menghapuskan dosa-dosa.” (Qs. Huud [11]: 114)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah menyatakan bahwa mengerjakan amal-amal
kebaikan akan dapat menghapuskan dosa-dosa di masa silam…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 4/247). Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa di dalam ayat di atas adalah dosa-dosa kecil (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 391)
Sebagaimana Allah juga menjadikan tindakan menjauhi dosa-dosa besar
sebagai sebab dihapuskannya dosa-dosa kecil. Allah berfirman,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kepada kalian
niscaya Kami akan menghapuskan dosa-dosa kecil kalian dan Kami akan
memasukkan kalian ke dalam tempat yang mulia (surga).” (Qs. An-Nisaa’ [4]: 31)
Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa definisi yang paling tepat untuk
dosa besar adalah segala bentuk pelanggaran yang diberi ancaman hukuman
khusus (hadd) di dunia atau ancaman hukuman tertentu di akhirat atau
ditiadakan status keimanannya atau timbulnya laknat karenanya atau Allah
murka kepadanya (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 176).
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan ucapan Ibnu Abbas mengenai firman
Allah di atas. Ibnu Abbas mengatakan, “Dosa besar adalah segala bentuk
dosa yang berujung dengan ancaman neraka, kemurkaan, laknat, atau
adzab.” (HR. Ibnu Jarir, disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 2/202)
Ibnu Abi Hatim menuturkan: Abu Zur’ah menuturkan kepada kami: Utsman
bin Syaibah menuturkan kepada kami: Jarir menuturkan kepada kami riwayat
dari Mughirah. Dia (Mughirah) mengatakan, “Tindakan mencela Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma juga termasuk dosa besar.” Ibnu Katsir mengatakan, “Sekelompok
ulama bahkan berpendapat kafirnya orang yang mencela Sahabat, ini
merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Malik bin Anas rahimahullah.” Muhammad bin Sirin mengatakan, “Aku
tidaklah mengira bahwa ada seorang pun yang menjatuhkan nama Abu Bakar
dan Umar sementara dia adalah orang yang mencintai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). (lihat keterangan ini dalam Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 2/203)
Qatadah mengatakan tentang makna ayat di atas, “Allah hanya menjanjikan ampunan bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 2/203)
Termasuk bagian dari menjauhi dosa besar ialah dengan senantiasa
menunaikan kewajiban yang apabila ditinggalkan maka pelakunya terjerumus
dalam dosa besar seperti halnya meninggalkan shalat, meninggalkan
shalat Jum’at, atau meninggalkan puasa Ramadhan (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 176)
Memasukkan ke Dalam Surga
Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang lelaki badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan rambutnya acak-acakan. Dia mengatakan,
“Wahai Rasulullah. Beritahukan kepadaku tentang shalat yang Allah wajibkan untuk kukerjakan?”
Beliau menjawab,
“Shalat lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambahnya dengan shalat sunnah.”
“Shalat lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambahnya dengan shalat sunnah.”
Lalu dia berkata,
“Beritahukan kepadaku puasa yang Allah wajibkan untukku?”
“Beritahukan kepadaku puasa yang Allah wajibkan untukku?”
Beliau menjawab,
“Puasa di bulan Ramadhan, kecuali kalau kamu mau menambah dengan puasa sunnah.”
“Puasa di bulan Ramadhan, kecuali kalau kamu mau menambah dengan puasa sunnah.”
Lalu dia berkata,
“Beritahukan kepadaku zakat yang Allah wajibkan untukku.”
“Beritahukan kepadaku zakat yang Allah wajibkan untukku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberitahukan kepadanya syari’at-syari’at Islam. Orang itu lalu mengatakan, “Demi
Dzat yang telah memuliakan anda dengan kebenaran. Aku tidak akan
menambah sama sekali, dan aku juga tidak akan menguranginya barang
sedikitpun dari kewajiban yang Allah bebankan kepadaku.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Dia beruntung jika dia memang jujur.”
“Dia beruntung jika dia memang jujur.”
Atau beliau mengatakan,
“Dia akan masuk surga jika dia benar-benar jujur/konsekuen dengan ucapannya itu.” (HR. Bukhari [46, 1891, 2678, dan 9656] dan Muslim [11]).
“Dia akan masuk surga jika dia benar-benar jujur/konsekuen dengan ucapannya itu.” (HR. Bukhari [46, 1891, 2678, dan 9656] dan Muslim [11]).
Membentengi Pelakunya Dari Perbuatan Buruk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ
امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ
اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Puasa adalah perisai, maka janganlah dia berkata kotor dan
bertindak dungu. Kalau pun ada orang yang mencela atau mencaci maki
dirinya hendaknya dia katakan kepadanya, “Aku sedang puasa.” Dua kali.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang
berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada harumnya minyak kasturi.
(Allah berfirman) ‘Dia rela meninggalkan makanannya, minumannya, dan
keinginan nafsunya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang
akan membalasnya.’ Setiap kebaikan itu pasti dilipatgandakan sepuluh
kalinya.” (HR. Bukhari [1894] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dengan kata-kata kotor (rofats) di dalam hadits ini adalah ucapan yang keji. Kata rofats
juga terkadang dimaksudkan untuk menyebut jima’ beserta
pengantar-pengantarnya. Atau bisa juga maknanya lebih luas daripada itu
semua (Fath Al-Bari, 4/123)
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ini bukan berarti di selain waktu puasa
orang boleh mengucapkan kata-kata kotor. Hanya saja ketika sedang
berpuasa maka larangan terhadap hal itu semakin keras dan semakin tegas (Fath Al-Bari, 4/124)
Kata rofats dengan makna jima’ bisa dilihat dalam ayat,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan untuk kalian pada malam (bulan) puasa melakukan rafats (jima’) kepada isteri-isteri kalian.” (Qs. Al-Baqarah [2] : 187)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kata rofats di dalam ayat ini
maksudnya adalah jima’. Inilah tafsiran Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid,
Sa’id bin Jubair, Thawus, Salim bin Abdullah, Amr bin Dinar, Al-Hasan,
Qatadah, Az-Zuhri, Adh-Dhahhaak, Ibrahim An-Nakha’i, As-Suddi, Atha’
Al-Khurasani, dan Muqatil bin Hayan (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1/286)
Dan yang dimaksud dengan bau mulut -orang yang puasa- tersebut adalah
bau mulut yang timbul akibat berpuasa, bukan karena sebab yang lain
(Fath Al-Bari, 4/125).
Sedangkan yang dimaksud dengan ‘keinginan nafsunya’ di dalam hadits
ini adalah hasrat untuk berjima’, sebab penyebutannya digandengkan
dengan makan dan minum (Fath Al-Bari, 4/126)
Sebuah Pintu Khusus di Surga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ
يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ
أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ
مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ
مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat sebuah pintu yang disebut
Ar-Royyan. Orang-orang yang rajin berpuasa akan masuk Surga melewatinya
pada hari kiamat nanti. Tidak ada orang yang memasukinya selain mereka.
Diserukan kepada mereka, ‘Manakah orang-orang yang rajin berpuasa?’ Maka
merekapun bangkit. Tidak ada yang masuk melewati pintu itu selain
golongan mereka. Dan kalau mereka semua sudah masuk maka pintu itu
dikunci sehingga tidak ada lagi seorangpun yang bisa melaluinya…” (HR. Bukhari [1896] dari Sahl radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dalam hadits dengan orang yang rajin puasa bukanlah
orang yang hanya mengerjakan puasa dan tidak mengerjakan shalat, sebab
orang seperti ini tidak akan masuk surga akibat kekafirannya
(meninggalkan shalat, pen). Akan tetapi yang dimaksud adalah kaum
muslimin yang banyak-banyak berpuasa
maka dia akan dipanggil agar melalui pintu tersebut. Sehingga setiap
penghuni surga akan memasuki surga melalui pintu-pintunya yang berjumlah
delapan (lihat Syarh Riyadhush Shalihin oleh Ibnu Utsaimin, 3/388-389)
Masing-masing pintu di surga memiliki kekhususan. Hal itu sebagaimana dikabarkan oleh Nabi dalam haditsnya,
مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ
مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ فَمَنْ كَانَ
مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّلَاةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ
أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ
الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ
الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَلَى
مَنْ دُعِيَ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ يُدْعَى
أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ
تَكُونَ مِنْهُم
“Barangsiapa yang berinfak dengan sepasang hartanya di jalan
Allah maka ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga, ‘Hai hamba Allah,
inilah kebaikan.’ Maka orang yang termasuk golongan ahli shalat maka ia
akan dipanggil dari pintu shalat. Orang yang termasuk golongan ahli
jihad akan dipanggil dari pintu jihad. Orang yang termasuk golongan ahli
puasa akan dipanggil dari pintu Ar-Royyan. Dan orang yang termasuk
golongan ahli sedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.”
Ketika mendengar hadits ini Abu Bakar pun bertanya, “Ayah dan
ibuku sebagai penebus anda wahai Rasulullah. Apa lagi yang akan dicari
oleh orang yang dipanggil dari pintu-pintu itu, mungkinkah ada orang
yang dipanggil dari semua pintu tersebut?” Maka beliau pun menjawab,
“Iya ada. Dan aku berharap kamu termasuk golongan mereka.” (HR. Bukhari [1897 dan 3666] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Al-Qadhi menukil ucapan Al-Harawi ketika menerangkan makna ‘sepasang
hartanya’: Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘sepasang
harta’ adalah dua ekor kuda, dua orang budak, atau dua ekor onta (Al-Minhaj
oleh An-Nawawi, 4/351). Sedangkan yang dimaksud dengan berinfak di
jalan Allah dalam hadits ini mencakup berinfak untuk segala bentuk amal
kebaikan, bukan khusus untuk jihad saja (Al-Minhaj, 4/352).
Hadits ini juga menunjukkan bahwa setiap orang yang beramal akan
dipanggil dari pintunya masing-masing. Hal ini didukung dengan hadits
dari jalur lain juga dari Abu Hurairah yang mengungkapkannya secara
tegas, Nabi bersabda,
لِكُلِّ عَامِل بَاب مِنْ أَبْوَاب الْجَنَّة يُدْعَى مِنْهُ بِذَلِكَ الْعَمَل
“Bagi setiap orang yang beramal terdapat sebuah pintu khusus di
surga yang dia akan dipanggil melalui pintu tersebut karena amal yang
telah dilakukannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih, demikian kata Al-Hafizh dalam Fath Al-Bari, 7/30)
Hadits ini juga menunjukkan betapa mulia kedudukan Abu Bakar radhiyallahu’anhu.
Sebab Nabi mengatakan di akhir hadits ini, “Dan aku berharap kamu
termasuk golongan mereka -yaitu orang yang dipanggil dari semua pintu
surga-.” Para ulama mengatakan bahwa harapan dari Allah atau Nabi-Nya
pasti terjadi. Dengan pernyataan ini maka hadits di atas termasuk
kategori hadits yang menunjukkan keutamaan Abu Bakar radhiyallahu’anhu. Hadits ini juga menunjukkan bahwa betapa sedikit orang yang bisa mengumpulkan berbagai amal kebaikan di dalam dirinya (Fath Al-Bari, 7/31).
Abu Bakar adalah orang yang memiliki berbagai bentuk amal shalih dan
ketaatan. Hal itu terbukti sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ صَائِمًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ
فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ جَنَازَةً قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا
قَالَ فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مِسْكِينًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ
أَنَا قَالَ فَمَنْ عَادَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مَرِيضًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ
أَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (kepada para
sahabat), “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini berpuasa?”. Abu
Bakar berkata, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian
yang hari ini sudah mengiringi jenazah?” Maka Abu Bakar berkata, “Saya.”
Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini
memberi makan orang miskin?”. Maka Abu Bakar mengatakan, “Saya.” Lalu
beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah
mengunjungi orang sakit.” Abu Bakar kembali mengatakan, “Saya.” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Tidaklah
ciri-ciri itu terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti akan
masuk surga.” (HR. Muslim [1027 dan 1028] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Abu Bakar Al-Muzani berkomentar tentang sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, “Tidaklah
Abu Bakar itu melampaui para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam (semata-mata) karena (banyaknya) mengerjakan puasa atau sholat,
akan tetapi karena sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya.” Mengomentari ucapan Al-Muzani tersebut, Ibnu ‘Aliyah mengatakan, “Sesuatu
yang bersemayam di dalam hatinya adalah rasa cinta kepada Allah ‘azza
wa jalla dan sikap nasihat terhadap (sesama) makhluk-Nya.” (Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab, hal. 102)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ
صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا
وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal
daging. Apabila ia baik, akan baiklah seluruh anggota tubuh. Dan apabila
ia rusak, rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, bahwa segumpal
daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599] dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma)
Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat
isyarat yang menunjukkan bahwa kebaikan gerak-gerik anggota badan
manusia, kemauan dirinya untuk menjauhi perkara-perkara yang diharamkan,
kesanggupannya meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat
(ketidakjelasan) adalah sangat tergantung pada gerak-gerik hatinya.
Apabila hatinya bersih, yaitu tatkala di dalamnya tidak ada selain
kecintaan kepada Allah dan kecintaan terhadap apa-apa yang dicintai
Allah, rasa takut kepada Allah dan khawatir terjerumus dalam hal-hal
yang dibenci-Nya, maka niscaya akan menjadi baik pula gerak-gerik
seluruh anggota badannya. Dari sanalah tumbuh sikap menjauhi segala
macam keharaman dan sikap menjaga diri dari perkara-perkara syubhat
untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan…” (Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, hal. 93)
An-Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan penegasan agar
bersungguh-sungguh dalam upaya memperbaiki hati dan menjaganya dari
kerusakan.” (Al-Minhaj, 6/108)
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa salah satu pelajaran penting
yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah, “Poros baik dan rusaknya
(amalan) adalah bersumber dari hati. Apabila hatinya baik maka seluruh
tubuh juga akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh anggota tubuh akan
ikut rusak. Dari faidah ini muncul perkara yang lain yaitu : sudah
semestinya memperhatikan masalah hati lebih daripada perhatian terhadap
masalah amal anggota badan. Sebab hati adalah poros amalan. Dan hati
itulah yang nanti pada hari kiamat akan menjadi objek utama ujian yang
ditujukan kepada manusia. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Apakah mereka tidak mengetahui ketika mayat yang ada di
dalam kubur dibangkitkan dan dikeluarkan apa-apa yang tersembunyi di
dalam dada.” (Qs. Al-’Adiyat: 9-10). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha Kuasa untuk mengembalikannya. Pada hari itu akan diuji perkara-perkara yang tersembunyi (di dalam hati).”
(Qs. Ath-Thariq: 8-9). Maka sucikanlah hatimu dari kesyirikan,
kebid’ahan, dengki dan perasaan benci kepada kaum muslimin, serta
(bersihkanlah hatimu) dari akhlak-akhlak dan keyakinan lainnya yang
bertentangan dengan syari’at, karena yang menjadi pokok segala urusan
adalah hati.” (Syarh Arba’in, hal. 113)
Beliau juga mengatakan, “Apabila Allah di dalam kitab-Nya, serta Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
di dalam Sunnahnya juga telah menegaskan agar memperbaiki niat, maka
wajib bagi setiap manusia untuk memperbaiki niatnya dan memperhatikan
adanya keragu-raguan yang tertanam di dalam hatinya untuk kemudian
dilenyapkan olehnya menuju keyakinan. Lantas bagaimanakah caranya?”
Beliau melanjutkan, “Hal itu dapat ditempuh dengan cara memperhatikan ayat-ayat. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam
sungguh-sungguh terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang
yang menggunakan akal pikiran.” (Qs. Ali ‘Imran: 190). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
di langit dan di bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah
bagi orang-orang yang beriman, begitu juga dalam penciptaan diri kalian
dan hewan-hewan melata yang bertebaran adalah tanda kebesaran Allah bagi
orang-orang yang yakin.” (Qs. Al-Jatsiyah: 4). Maka silakan anda perhatikan ayat-ayat Allah yang lain.”
“Kemudian apabila syaitan membisikkan di dalam hati anda
keragu-raguan, perhatikanlah ayat-ayat Allah, perhatikan alam semesta
ini siapakah yang telah mengaturnya, perhatikanlah bagaimana keadaan
bisa berubah-ubah, bagaimana Allah mempergilirkan perjalanan hari di
antara umat manusia sampai anda benar-benar yakin bahwa alam ini
memiliki pengatur yang maha bijaksana (yaitu Allah) ‘azza wa jalla…” (Syarh Riyadhush Shalihin, 1/41)
Semogadapat
membantu memotivasi kita semua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar